Sisa Obrolan di Cangkir Kopi
Puisi-Puisi Riki Utomi dan Hendri Krisdiyanto
Sisa Obrolan di Cangkir Kopi
Oleh: Riki Utomi
Kita berdua saja
Langit jingga setelah
Camar pulang dari utara.
Matamu menyapu arah
kota, dimana jangkung
gedung selalu pongah
atau terdiam masuk
ke dalam berita dari
koran yang kuyup
sisa gerimis petang
tadi.
Di hadapan kita:
Meja bulat kecil dengan
Lukisan klasik tembok
cina, lengkap awannya.
Kau membawa obrolan
Kepada tingkah polah
Elit politik atau geli
Gusar kaum selebrita.
Atau kau bingung entah
Melanjutkan kuliah
Magister mana: Amerika,
Timur Tengah, atau
Eropa?
Seekor camar menukik
di depanmu. Aku ingin meraih
sisa kopi, kau ingin menyambar
sisa remah roti. tapi
tangan kita sama-sama
terhenti.
“barangkali aku sok,” katamu.
“barangkali begitu,” kataku.
(Selatpanjang, 2018)
Tangan yang Asing
Oleh: Riki Utomi
ada yang mengulur sesuatu
di antara tangan menadah
wajah sebaris renyah
menyerah.
Ketika kan kau dapati
satu-dua kepastian
ia lesap diantara kulum
senyum, ia lenyap
meninggalkan debu.
tangan yang asing
penuh menggoda
menadah-nadah muka
di lipatan waktu
keringat amis dan perih
perut tersiksa oleh
wangi kopi
di persimpangan,
nun lebat hujan, atau
kau sama sekali ingin
melupakannya.
(Selatpanjang, 2018)
Yang Patut, Lepas, dan Gegas
Oleh: Riki Utomi
Yang patut dieja dari rintik gerimis
Adalah bunyinya yang jatuh di atas seng.
Ia adalah ungkapan. Seperti juga kau
yang diam. Hanya matamu menukik
dan jauh menyorot tanah.
Yang sudah lepas dari pikirmu adalah
seperti gas menguap menyatu ke udara.
Seperti ungkap yang tak sempat diucap.
Hanya membatu, menumpuk dalam
kepala.
Yang gegas dari hatimu adalah
Melupakan masa lalu, meski disana-sini
Masih saja hinggap perasaan remuk
Atau bunga-bunga yang kuncup.
Dirimu tiba-tiba menjadi monumen
Akalmu terbang menjadi burung.
Hinggap ke ungkap. bersarang
Di ujung gelap.
(Selatpanjang, 2018)
Riki Utomi lahir Pekanbaru 19 Mei 1984. Buku fiksinya yaitu Mata Empat (Seni Kata, 2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (Seligi Press, 2015), Mata Kaca (Uwais, 2017), dan kumpulan esai Menuju ke Arus Sastra (Uwais, 2017). Karyanya telah dimuat dalam media massa lokal dan nasional. Mendapat Penghargaan Acarya Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa DKI Jakarta 2015 dan Penghargaan Pemangku Prestasi Seni Sastra dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau 2016. Tinggal di Selatpanjang, Riau.
Hujan Deras Sepanjang Jalan Solo
Oleh: Hendri Krisdiyanto
Hujan deras sepanjang
Jalan Solo, kau rebahkan kepalamu
Di bahuku.
Bis berjalan dengan kecepatan sedang
Lihatlah jendela bis itu
Katamu pelan ketelingaku
Kita tidak ada lagi di dalam cermin
Hujan telah mengambilnya
Kembali kau berbisik dengan suara kecewa
Lalu, aku memelukmu dan berkata
Bukankah kau suka derai hujan yang jatuh di kaca?
Kau mengangguk, tersenyum
Kurasakan kita semakin erat, semakin lekat.
September, 2018
Perihal Luka
Oleh: Hendri Krisdiyanto
Air mata ini telah aku catat
Dengan sederet kata-kata rancu
Pada alam yang diam,
Dan mata tiba-tiba mematung seperti Yesus.
Dan jantung waktu yang ia sebut
Adalah peniup sangkakala
Ditubuhnya yang bergairah
Air mata ini mengalir lalu berteduh
Di antara cekung khuldinya yang bisu
Menyisakan jejak-jejak yang basah
Pada rel kereta di suatu kota.
Dalam tubuhnya bunyi kendaraan besar
Dan dencingan khotbah gereja
Terdengar gemuruh sampai di telinga penghulu
Juga romansa alam yang sempat tertanam datar
Adalah tubuhmu yang sayu
Seperti debu pada hilir Ararat.
September, 2018
Narasi Sebuah Pelayaran
Oleh: HendriKrisdiyanto
Aku berlayar menyisir dari tepian mengikuti arah arus yang beriak menuju samudra. Lautan tergelar begitu menawan meredam derita ikan nan bayanganku pecah pada perahu nelayan yang gagal meraup keuntungan di awal penghujan. Kali ini aku rela perahuku karam terlumat asin air lautan asalkan pestisida tak lagi para kelasi tebarkan dan kehidupan akan tentram melipat segala kegaduhan yang muram di dasar lautan.
Maka, mari kita tinggalkan pekerjaan seperti menyembai ikan atau merusak karang-karang, agar lautan sempurna mencipta takjub bagi setiap insan. Begitupun hanya harap, saudara. Sebab aku kini teringat pada kejadian tempo dulu yang mana badai sebegitu besarnya melibas perahu Yunus melalui gulungan gelombang. Lalu, tenggelamlah ia. Untunglah ada ikan segera menyambut tubuh agungnya. Seiring firman yang tuhan turunkan . Sejenak, tibalah aku di pucuk pelayaran dengan segenap kecemasan di masa mendatang.
September, 2018
Hendri Krisdiyanto lahir di Sumenep, Madura. Alumni Annuqayah daerah Lubangsa. Karyanya pernah dimuat di media massa lokal dan nasional. Antologi bersamanya: Suatu Hari Mereka Membunuh Musim (Persi: 2016), Kelulus (Persi: 2017) Dan The First Drop Of Rain, Banjarbaru, 2017. Sekarang aktif di Garawiksa Institute, Yogyakarta.
Foto Ilustrasi: Rangga Zaura