Kota Kabut
Puisi Anjrah Lelono Broto
Kota Kabut
Oleh: Anjrah Lelono Broto
kita lahir di gunung biru
di jantung kota berkabut
dedaun kota ini serupa batu
benteng dari serangan rindu
sekali waktu
ketika musim bunga
jalan-jalan kota kita
kehilangan debu
benderang lampu-lampu
kita pun jatuh cinta seluruh
meski mengaduh
kabut tak lagi memagut
batu-batu pun punya surut
2019
Telah Lahir
Oleh: Anjrah Lelono Broto
sebungkil bayi
berkalung ari-ari
mengisi diari
di sebuah pagi
bertahun lalu, Ri
ada tawanya
di tatapan tanpa dosa
padaku, pada kita
yang terlalu tua
menerima titipan-Nya
Ri, aku tiba-tiba
begitu mengingatnya
bayi itu serta tatapannya
ketika pagi ini dia
mengabarkan kelahiran
2019
Catatan:
Usai membaca sajak “Déjà vu” karya Muhammad Harya Ramdhoni (Lampung Post, 29 Maret 2015)
Ingatkan Bangun Pagi
Oleh: Anjrah Lelono Broto
matahari telah riang, cahyanya benderang
jejalan masih sepi dibuai hujan semalam
tuan-puan pun masih tidur
memeluk mimpi dengan dengkur
dering beker berulang kali
teriakkan matahari yang segera meninggi
lalu semua yang berjajar akan tercerai
lalu pagi mengering dan mati
siapa lagi yang kemudian tuan-puan sandari
anak-anak terus menjulang, lucu-santun pun pergi
matahari riang pun mampu bermutasi
menjadi raksasa bermata api
jika malam tiba, tuan-puan mungkin baru membaca
bahwa gelap bukan hanya tentang kurang terbaca
namun juga tawa setan dan cucu-cicitnya
dalam pesta pora perayaan keterbujukan kita
yang enggan bangun pagi
dan yang enggan mengingatkan, meski sekali
2019
Muslihat Pelantang
Oleh: Anjrah Lelono Broto
— satu
pelantang di kejauhan
suaranya berdentang
memukuli gendang
telinga sampai ambang
batas kemanusiaan
pun demikian
tak ada tentangan lantang
lebih bijak diam
konon # arkian
— dua
pelantang itu sekarang
hanya berjarak belasan
dari meja makan
suaranya berulang
menampakkan kepalsuan
yang diserupakan
ayat-ayat kebenaran
pun demikian
di mana saja riuh dituliskan
merdunya suara pelantang berulang
hingga lindap batasan
wajah # pulasan
— tiga
persetan
pelantang itu sekarang
bergumam di kolong jembatan
berbaring memamah kepercayaan
dan mengiba kelahiran
anak-anak zaman
pun demikian
kita sepakat menelan
obat kuat demi pertarungan
bukan melawan
namun sebagai jawaban
pernyataan # himbauan
— empat
sudahkanlah
atau kita akan
gugur tanpa perlawanan
2020
Anjrah Lelono Broto. Aktif menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media masa. Beberapa puisinya masuk dalam buku antologi bersama antara lain Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (2016), Kunanti di Kampar Kiri (Hari Puisi Indonesia-HPI Riau, 2018), When The Days Were Raining (Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019), dll. Karya tunggalnya adalah Esem Ligan Randha Jombang (antologi geguritan, 2010), Orasi Jenderal Markus (naskah monolog, 2011), Emak, Sayak, Lan Hem Kothak-Kothak (antologi cerkak, 2015), “Nampan Pencakan (Himpunan Puisi, 2017), dan Permintaan Hujan Jingga (antologi puisi, 2019). Terundang dalam agenda Muktamar Sastra (Situbondo, 2018), dan karya naskah teaternya “Nyonya Cayo” meraih nominasi dalam Sayembara Naskah Lakon DKJT 2018. Sekarang bergiat di Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA) dan dapat disapa di e-mail: anantaanandswami@gmail.com, FB: anjrahlelonobroto, dan IG: anjrahlelonobroto.
Foto sampul oleh TH Pohan