Melihat
Puisi Giffari Arief
Kesan Pertama
Oleh: Giffari Arief
Aku akan surih lambung pasi itu
Hingga segala jenis susu
Dapat kau rasai dalam-dalam kekentalannya
Malam telah tiba untuk menyambut
Bulan bagai gergasi
Langit kelam membelam pengalaman buruk
Ke dalam paru rusuh itu, penuh hikayat-hikayat lama
Aku akan surih tubuh-tubuh dan kau menilik
Kelupas kulit yang terbang jadi awan
Kita akan saksikan malam bekerja keras
Menidurkan harapan setiap orang
Padang, 2020
Melihat
Oleh: Muhammad Giffari
Kalian lihat sapu
Di lantai koreng
Dan pura-pura meneteskan liur
Agar terlihat peduli
“Tunjukkan aku kantong merah.”
“Tunjukkan aku kentang marah.”
Yang padat hanya sumpah
Tak ada cinta bertumpahan
Di lantai, sebab terlalu sempit
Dunia apabila kita tenggelam
Dalam perseteruan perasaan.
Sunyi telah kedaluwarsa
Lesung pipit itu tergenang oleh
Perumpamaan-perumpamaan mendayu-dayu
Yang aku tebas dalam puisi yang tak meluap ini
Padang, 2019
Pengalaman Baru
Oleh: Muhammad Giffari
Pada usia berapa kalian tahu
Soal sapu yang kelaparan
Pergi sana-sini mencari makan.
Barangkali kalian tahu.
Perutku hanya tabung tipis
Tak setebal lambung kalian yang pengap
Meski begitu, aku selalu bahagia
Dan sukar untuk memberi salam pisau
Saat bertemu kawan
Barangkali kalian bingung,
Mengapa aku terus memperhatikan sapu
Sedang kawan-kawan kita, yang beratap awan itu
Harus saling membunuh dengan waktu
Agar perut selalu berisi.
Aku hanya ingin mengatakan
Kalau kita sudah terlalu egois
Lebih senang melihat lautan sunyi
Dibanding kolam menung di dekat rumah
Padang, 2019
Laniakea Tertidur
Oleh: Muhammad Giffari
Laniakea, aku enggan mundur
Waktu masih terus bernapas
Bunyi saluang memecah simpang padang lua
Laniakea, aku perlu bantuanmu
Tanpa siulan burung gagak tanpa harapan
Jasad-jasad tanpa bahu
Jantung penuh ngalau
Mata menganga
Laniakea, masih terjaga?
Bunyi saluang memulai hujan barah
Simpang padang lua jadi ladang pendabihan
“Tidak ada itu,” katamu
Laniakea, kau sangat raya
Jagatmu tanpa hulu
Langit jadi padam
Semua saling tuduh
“Siapa yang buat Laniakea berang?
Manusia jahil mana yang mengusik tatanan
Bintang-bintang. Rasi-rasi saling mengasihi
Komet membuai kaba pada Matahari. Ada yang tahu?”
Laniakea, ada orang mangut didekatmu
Memegang kemoceng, bulu yang tak simetris
Dunianya hilang. Dibacok senja yang seperti
kepala unta itu. Laniakea, kau tertidur?
Bangunlah Laniakea
Hari sudah pagi
Mayat sudah jadi nasi
Padang, 2018
Empiku Sayang, Empiku Terjungkal
Oleh: Muhammad Giffari
Empiku dalam genggaman tangan
Diharap banyak buat gunung emas
Uap laut ranggaskan awan
Burung-burung gagak melilit jiwa
Dan kau cuma berkata, “Indahnya semua.”
Empiku sayang, teruntuk hari ini saja
Duduklah sembari meminum teh
Palingkan pandangmu dari klorofil
Tutup telingamu
Suara gemercik kaldu sangat menyayat jiwa
Orang-orang kehilangan kelapa
Kehilangan harapan
Yang paling parah: Kehilangan langit
Empiku cinta, tanpa kadar arsenik kau
Buai sembilan puluh sembilan pulau
Dua samudera
Beberapa kehidupan metropolis
Serta tumpukan falsafah pengenyang delusi
Empiku yang dalam titian cemas
Jangan meminum teh hijau tanpa sendok
Sebab orang-orang kelaparan memburu sendok
Bisa jadi pengetahuanmu yang mampu menaklukan Russia
Lampaui angan Hitler dan Napoleon
Telah menjadi tombak bagi mereka
Yang meminta nasi secara paksa
Pada tuan bertongkat merah
Padang, 2018
Giffari Arief. Lahir di Padang, 10 Juli 1998. Sedang menjalankan studi di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Bergiat di Labor Penulisan Kreatif dan Lab. Pauh 9.
Photo by Magoi from Pexels